Welcome

HWAITING!!!!!!!!!!!!!



Thursday, 6 August 2009

GADAI

GADAI MENURUT AGAMA ISLAM
BAB I
PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Pegadaian sudah dikenal oleh masyarakat sejak jaman penjajahan. Banyak kalangan yang memanfaatkan jasa ini untuk mendapatkan kebutuhan sehari hari maupun modal usaha. Para nasabah memanfaatkan jasa pegadaian karena kemudahan kemudahan yang didapat, sehingga dalam perkembangannya, nasabah tidak hanya terbatas pada lapisan bawah, tetapi tidak sedikit kalangan menengah yang menikmati jasanya. Peran Perum Pegadaian selama ini dalam membantu perekonomian masyarakat kecil cukup besar. Dengan slogan mengatasi masalah tanpa masalah. Banyak masyarakat memilih pegadaian daripada bank dalam memperoleh modal usaha. Keuntungan dari meminjam adalah kecepatan dalam pelayanan. Hanya dengan membutuhkan waktu kurang dari tiga puluh menit orang sudah mendapatkan pinjaman modal sampai dengan ratusan juta dengan agunan yang cukup. Selain itu adalah bunga atau sewa modal yang diterapkan pada pegadaian juga cukup murah yaitu hanya sekitar 1,5 % setiap 15 harinya. Dalam pembahasan mengenai gadai dalam hukum negara maupun hukum Islam, gadai merupakan perjanjian utang piutang dengan barang jaminan. Dalam hukum Islam perjanjian gadai mempunyai rukun dan syarat yang harus dipenuhi antara lain ijab dan kabul, aqid, borg atau barang yang dijadikan jaminan, dan ada utang yang dalam keadaan tetap.

I.2.Tujuan
1. Memberikan Informasi kepada masyarakat tentang definisi gadai menurut hukum islam.
2. Memberikan informasi kepada masyarakat tentang sejarah dan perkembangan gadai.
3. Memberikan informasi kepada masyarakat tentang hokum gadai di dalam ajaran islam.
4. Memberikan informasi kepada masyarakat tentang kapan gadai menjadi menjadi sebuah keharusan.
5. Memberikan informasi kepada masyarakat tentang kapan serah terima gadai menjadi sah.
6. Memberikan informasi kepada masyarakat tentang hokum-hukum setelah penerimaan gadai.

I.3.Permasalahan
Dalam makala ini akan di bahas masalah-masalah tentang:

1. definisi gadai menurut hukum islam.
2. sejarah dan perkembangan gadai.
3. hokum gadai di dalam ajaran islam.
4. kapan gadai menjadi menjadi sebuah keharusan.
5. kapan serah terima gadai menjadi sah.
6. hokum-hukum setelah penerimaan gadai.

- 1 -

BAB II
PEMBAHASAN
Hukum Gadai / Agunan Dalam Islam (Rahn)


II.I. Definisi Gadai (Rahn)

Gadai Syariah sering diidentikkan dengan Rahn yang secara bahasa diartikan al-tsubut wa al-dawam (tetap dan kekal) sebagian Ulama Luhgat memberi arti al-hab (tertahan).[1] Sedangkan definisi al-rahn menurut istilah yaitu menjadikan suatu benda yang mempunyai nilai harta dalam pandangan syar’a untuk kepercayaan suatu utang, sehingga memungkinkan mengambil seluruh atau sebagaian utang dari benda itu.[2]
Istilah rahn menurut Imam Ibnu Mandur diartikan apa-apa yang diberikan sebagai jaminan atas suatu manfaat barang yang diagunkan.[3] Dari kalangan Ulama Mazhab Maliki mendefinisikan rahn sebagai “harta yang dijadikan pemiliknya sebagai jaminan hutang yang bersifat mengikat“, ulama Mazhab Hanafi mendefinisikannya dengan “menjadikan suatu barang sebagai jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin dijadikan sebagai pembayar hak tersebut, baik seluruhnya maupun sebagiannya“. Ulama Syafii dan Hambali dalam mengartikan rahn dalam arti akad yakni menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang, yang dapat dijadikan pembayar utang apabila orang yang berhutang tidak bisa membayar hutangnya.[4]
Ar-rahn mempunyai tiga rukun (ketentuan pokok), yaitu:
Shighat (ijab dan qabul)
Al-‘aqidan (dua orang yang melakukan akad ar-rahn), yaitu pihak yang mengagunkan (ar-rĂ¢hin) dan yang menerima agunan (al-murtahin)
Al-ma’qud ‘alaih (yang menjadi obyek akad), yaitu barang yang diagunkan (al-marhun) dan utang (al-marhun bih). Selain ketiga ketentuan dasar tersebut, ada ketentuan tambahan yang disebut syarat, yaitu harus ada qabdh (serah terima).

II.2. Sejarah dan Perkembangan Gadai
Pegadain dikenal mulai dari Eropa, yaitu Negara Italia, Inggris dan Belanda. Pengenalan di Indonesia pada awal masuknya colonial belanda, yaitu sekitar akhir abad XIX, oleh sebuah bank yang bernama Van Lening. Bank tersebut memberi jasa pinjaman dana dengan syarat penyerahan barang bergerak, sehingga bank ini pada hakikatnya telah memberikan jasa pegadaiaan. Pada awal tahun 20-an pemerintah Hindia-Belanda berusaha mengambil alih usaha pegadaian dan memonopolinya dengan cara mengeluarkan Staatsblad No. 131 tahun 1901. peraturan tersebut diikuti dengan pendirian rumah gadai resmi milik pemerintah dan statusnya diubah menjadi Dinas Pegadaian sejak berlakunya Staatsblad No. 226 tahun 1960.
[1] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jus III, Beirut: Dar al-Fikr, tt, hal. 187.
[2] Ibid., hal 187.
[3] Imam al’ama Ibn Mandur, Lisan al-Arab, Beirut: Muassah Tarikh al-Arabi, 1999, hal. 347.
[4] Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hope, 1996, hal.1480.

- 2 -
Selanjutnya pagadaiaan milik pemerintah tetap diberi fasilitas monopoli atas kegiatan pegadaiaan di Indonesia. Dinas pegadaiaan mengalami beberapa kali bentuk badan hokum sehingga akhirnya pada tahun 1990 menjadi perusahaan Umum. Pada tahun 1960 Dinas Pegadaiaan berubah menjadi Perusahaan Negara ( PN) Pegadaiaan.
Pada tahun 1969 Perusahaan Negara Pegadaian diubah menjadi Perusahaan Negara Jawatan (Perjan) Pegadaiaan, dan pada tahun 1990 menjadi Perusahaan Umum (Perum) Pegadaiaan melalui peraturan pemerintah No. 10 tahun 1990 tanggal 10 April 1990.
Pada saat ini pegadaian Syariah sudah terbentuk sebagai sebuah lembaga. Ide pembentukan pagadaiaan syariah selain karena tuntutan idialisme juga dikarenakan keberhasilan terlembaganya bank dan asuransi syariah. Setelah terbentuknya bank, BMT, BPR, dan Asuransi Syariah maka pegadaiaan syariah mendapat perhatian oleh beberapa praktisi dan akademisi untuk dibentuk dibawah suatu lembaga sendiri
Namum dipihak lain realitas menunjukkan bahwa ternyata pegadaian- contohnya pegadaiaan konvensional-mampu memberikan kontribusi aktif dalam membantu masyarakat. Melihat realitas tersebut, keberadaan pagadaiaan syaraiah tidak bisa ditunda-tunda lagi sehingga pada tahun 2003 didirikan pegadaian syariah.[5]
Pertumbuhan Pegadaian Syariah di Indonesia sangat meyakinkan. Awal agustus 2008 Ar Rum sudah dikembangkan di 30 kantor cabang Pegadaian Syariah di seluruh Indonesia dengan anggaran mencapai Rp.30 miliar, dan saat ini tengah diperbesar skalannya dengan pertumbuhan mencapai 60 persen dari tahun sebelumnya, dengan jumlah cabang syariah sebanyak 62 kantor cabang, dan akhir tahun 2008 jumlah kantor cabang syariah direncanakan mencapai 200 unit kantor cabang syariah dengan omzet mencapai Rp.1,5 Triliun lebih.[6]


II.3. Hukum Gadai

Dasar hukum yang digunakan para ulama untuk membolehkannya rahn yakni bersumber pada al-Qur’an (2): 283





yang menjelaskan tentang diizinkannya bermuamalah tidak secara tunai.[7] Dan Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Aisiyah binti Abu Bakar, yang menjelaskan bahwa Rasulullah Saw pernah membeli makanan dari seorang Yahudi dengan menjadikan baju besinya sebagai jaminan.[8]

[5] Sudarsono, Heri, 2007. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. Yogyakarta: Ekonisia.hal. 156
[6] Harian Umum Republika, 10 Oktober 2008
[8] Imam Bukhari, Sahih Bukhari, Kutub al-Tis’ah (CD).
- 3 -[7] Al-Qur’an surat al-Baqarah, ayat 283 yang dapat diartikan sebagai berikut: “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaknya ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)”


Berdasarkan dua landasan hukum tersebut ulama bersepakat bahwa rahn merupakan transaksi yang diperbolehkan dan menurut sebagian besar (jumhur) ulama, ada beberapa rukun bagi akad rahn yang terdiri dari, orang yang menggadaikan (ar-rahn), barang-barang yang digadai (marhun), orang yang menerima gadai (murtahin) sesuatu yang karenanya diadakan gadai, yakni harga, dan sifat akad rahn.[9]Sedangkan untuk sahnya akad rahn, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh para pihak yang terlibat dalam akad ini yakni: berakal, baligh, barang yang dijadikan jaminan ada pada saat akad, serta barang jaminan dipegang oleh orang yang menerima gadai (marhun) atau yang mewakilinya.[10]
Dengan terpenuhinya syarat-syarat di atas maka akad rahn dapat dilakukan karena kejelasan akan rahin, murtahin dan marhun merupakan keharusan dalam akad rahn. Sedangkan mengenai saat diperbolehkan untuk menggunaan akad rahn, al-Qur’an dan al-Sunah serta ijma ulama tidak menetapkan secara jelas mengenai akad-akad atau transaksi jual beli yang diizinkan untuk menggunakan akad rahn.

Sebagian kecil ulama, sebagaimana yang dikemukakan Ibn Rudy bahwa mazhab Maliki beranggapan bawa gadai itu dapat dilakukan pada segala macam harga dan pada semua macam jual beli, kecuali jual beli mata uang, dan pokok modal pada akad salam yang berkaitan dengan tanggungan, hal ini disebabkan karena pada shaf pada salam disyaratkan tunai, begitu pula pada harta modal. Sedangkan kelompok Fuqaha Zahiri berpendapat bahwa akad gadai (rahn) tidak boleh selain pada salam yakni pada salam dalam gadai, hal ini berdasar pada ayat yang berkenaan dengan gadai yang terdapat dalam masalah hutang piutang barang jualan, yang diartikan mereka sebagai salam.[11]
Dari bebrapa pendapat di atas dapat diartikan bahwa sebagian ulama beranggapan bahwa rahn dapat digunakan pada transaksi dan akad jual beli yang bermacam-macam, walaupun ada perbedaan ulama mengenai waktu dan pemanfaatan dari barang yang dijadikan jaminan tersebut.
Sedangkan benda Rahn yang digadai, dalam konsep fiqh merupakan amanat yang ada pada murtahin yang harus selalu dijaga dengan sebaik-baiknya, dan untuk menjaga serta merawat agar benda (barang) gadai tersebut tetap baik, kiranya diperlukan biaya, yang tentunya dibebankan kepada orang yang menggadai atau dengan cara memanfaatkan barang gadai tersebut. Dalam hal pemanfaatan barang gadai, beberapa ulama berbeda pendapat karena masalah ini sangat berkaitan erat dengan hakikat barang gadai, yang hanya berfungsi sebagai jaminan utang pihak yang menggadai.
Agar lebih jelasnya perbedaan pendapat para ulama mengenai pemanfaatan barang gadai akan dipaparkan sebagai berikut:

1. Pendapat Imam Syafii
Dalam kitab al-Um’nya Imam Syafii menjelaskan tetang pemanfaataan barang jaminan sebagai berikut: “Manfaat dari barang jaminan adalah bagi yang menggadaikan, tidak ada sesuatu pun dari barang jaminan itu bagi yang menerima gadai[12]

[9] Ibnn Rusdy, Bidaya al-Mujtahid, alih bahasa Imam Gazali Said, Jakarta: Pustaka Amini, 1991, hal. 351.
[10] Sayyid Sabiq, hal, 188.
[11] Ibn Rusdy, hal, 351.
[12] Imam as-Syafii, al-Um, Jilid III, tt, tp, hal. 155

- 4 -

Sedangkan pendapat senada diutarakan Ulama Safiiyah bahwa orang yang menggadaikan adalah yang mempunyai hak atas manfaat barang yang digadaikan, meskipun barang yang digadai itu ada di bawah kekuasaan penerima gadai, Kekuasaannya atas barang yang digadai tidak hilang kecuali ketika mengambil manfaat atas barang gadai tersebut. Sedangkan penerima gadai tidak boleh mengambil manfaat barang gadai jika hal itu disyaratkan dalam akad, tetapi jika mengambil manfaatnya itu diizinkan oleh orang yang menggadai maka itu diperbolehkan.[13]
Ulama Safiiyah menyandarkan pendapat ini pada hadist yang diriwayatkan dari Abu Hurairah sebagai berikut: “Gadaian itu tidak menutup akan yang punyanya dari manfaat barang itu, faidahnya kepunyaan dia dan dia wajib mempertanggung jawabkan resikonya (kerusakan dan biaya)”. Sedangkan Imam Syafii menyebutkan hadis lain yang diriwayatkan Abu Hurairah yang menjelaskan bahwa, “barang jaminan itu dapat ditunggangi dan diperah”. Secara tegas Imam Syafii memberi penjelasan mengenai hadis di atas yakni bahwa yang boleh menunggangi dan memeras barang gadai itu hanyalah pemiliknya dan bukan orang yang menerima gadai.[14]
Dari penjelasan dan dasar syar’i yang digunakan Imam Safii dan Ulama Syafiiyah di atas dapat diartikan bahwa manfaat barang gadai hanyalah milik si pegadai dan bukan orang yang menerima barang gadai, sedangkan hak bagi penerima gadai hanyalah mengawasi barang jaminan sebagai kepercayaan hutang yang telah diberikannya kepada si pegadai dan dapat memanfaatkannya hanya jika seizin orang yang menggadai.

2. Pendapat Imam Malik (Malikiyah)
Ulama Malikiyah dalam hal pemanfaatan barang gadai berpendapat bahwa hasil dari barang gadaian dan segala sesuatu yang dihasilkan dari padanya adalah hak yang menggadaikan, dan hasil gadaian itu adalah bagi yang menggadaikan selama si penggadai tidak mensyaratkan (Rahmat Syafii, 1997). Dengan kata lain jika murtahin mensyaratkan bahwa hasil barang gadai itu untuknya, maka hal itu dapat dilakukan dengan beberapa syarat:
a. Utang terjadi karena jual beli dan bukan karena menguntung-kan.
b. Pihak penerima gadai mensyaratkan bahwa manfaat dari barang gadai adalah untuknya.
c. Jangka waktu mengambil manfaat yang telah disyaratkan waktunya harus ditentukan, dan jika tidak ditentukan dan tidak diketahui batas waktunya, maka menjadi tidak sah (Sayyid Sabiq, hal. 188).
Jika syarat-syarat tersebut di atas telah jelas, maka menurut ulama Malikiyah sah bagi penerima gadai untuk mengambil manfaat dari barang yang digadaikan.
Dari kedua pendapat ulama tersebut dapat diambil persamaan keduanya yaitu bahwa manfaat barang jaminan gadai (rahn) ialah bagi orang yang memilikinya (menggadainya). Sedangkan perbedaan yang nampak ialah pada bolehnya pemanfaatan barang gadai dengan adanya syarat oleh Imam Malik sedangkan Imam Syafii atau ulama Safiiyah membolehkan hanya dengan adanya izin dari penggadai (orang yang mempunyai barang).



[13] Abdurrahman Al-Jaziri, al-Fiqh ala Madzahib al-Arba’ah, Jilid III, Beirut: Dar al-Fikr, tt, hal. 333.
[14] Imam Syafii, al-Um, lihat juga Rahmat Syafii, dalam Problematika Hukum Islam Kontemporer, Chuzaimah T Yanggo (ed), Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997, hal. 66.

- 5 -

Hadis yang dijadikan landasan oleh ulama yang membolehkan pemanfaatannya ialah Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Abu Hurairah sebagai berikut:
Sabda Rasulullah: “gadaian ditunggangi dengan nafkahnya, jika dia dijadikan jaminan utang dan air susu diminum dengan nafkahnya jika dijadikan jaminan utang dan kepada yang menunggangi dan meminum harus memberi nafkah” (HR Bukhari).

3. Pendapat Imam Ahmad Ibn Hambal (Hambaliyah)
Dalam hal pemanfaatan barang gadai ulama Hambaliyah lebih menekankan pada jenis barang yang digadaikan, yakni pada apakah barang yang digadai tersebut hewan atau bukan, dan bisa ditunggangi serta diperah susunya atau tidak. Jika barang yang digadai tidak dapat ditungangi dan diperah, maka boleh bagi penerima gadai mengambil manfaat atas barang gadai. Sedangkan jika barang gadai tersebut tidak dapat ditunggangi dan diperah maka barang tersebut dapat diambil manfaatnya dengan seizin yang menggadaikan secara suka rela dan selama sebab gadai itu bukan dari sebab hutang.[15]
Secara jelas dapat dikatakan bahwa adanya perbedaan pendapat dikalangan Ulama madzhab dalam membahas pemanfaatan barang gadai di atas merupakan refrensi bagi para pihak dalam transaksi gadai (rahn) untuk dapat memilih atau mencari jalan tengah dalam hal pemanfaatan barang gadai sesuai dengan kebutuhan dan kondisi yang ada, sehingga tujuan utama gadai sebagai pengikat pada transaksi yang tidak tunai tidak terabaikan.

Persamaan Gadai (Hukum Perdata) dengan Rahn (hukum Islam) :1. Hak gadai berlaku atas pinjaman uang2. Adanya anggunan (barang jaminan) sebagai jaminan utang3. Tidak boleh mengambil manfaat barang yang digadaikan4. Biaya barang yang digadaikan ditanggung pemberi gadai5. Apabila batas aktu pinjaman uang telah habis, barang yang digadaikan boleh dijual atau delelang.
Perbedaan Gadai (Hukum Perdata) dengan Rahn (hukum Islam) :1. Rahn dilakukan secara suka rela tanpa mencari keuntungan, gadai dilakuakn dengan prinsip tolong menolong tetapi juga menari keuntungan dengan menarik bunga2. Hak rahn berlaku pada seluruh harta (benda bergerak dan benda tidak bergerak).3. Rahn menurut hukum islam dilaksanakan tanpa melalui suatu lembaga, sedangkan gadai menurut hukum perdata dilaksanakan melelui suatu lembaga (Perum Pegadaian)


[15] Sayyid Sabiq, hal. 189

- 6 -


III.4. Kapan Gadai Menjadi Sebuah Keharusan

Para ulama berselisih pendapat dalam masalah keharusan Ar-Rahn. Apakah langsung seketika saat transaksi, ataukah setelah serah terima barang gadainya
Dalam masalah ini terdapat dua pendapat.
1 .Serah terima adalah menjadi syarat keharusan terjadinya Ar-Rahn. Demikian pendapat Madzhab Hanafiyah, Syafi’iyah dan riwayat dalam madzhab Ahmad bin Hambal serta madzhab Dzohiriyah.
Dan Ar-Rahn adalah transaksi penyerta yang memerlukan adanya penerimaan, sehingga perlu adanya serah terima (Al-Qabdh) seperti hutang. Juga karena hal itu adalah Rahn (Gadai) yang belum diserah terimakan maka tidak diharuskan menyerahkannya sebagaimana bila yang menggadaikannya meninggal dunia.
2. Ar-Rahn langsung terjadi setelah selesai transaksi. Dengan demikian bila pihak yang menggadaikan menolak menyerahkan barang gadainya maka ia pun dipaksa untuk menyerahkannya. Demikian pendapat madzhab Malikiyah dan riwayat dalam madzhab Al Hambaliyah.
Ar-Rahn adalah akad transaksi yang mengharuskan adanya serah terima sehingga juga menjadi wajib sebelumnya seperti hal jual beli. Demikian juga menurut Imam Malik, bahwa serah terima hanyalah menjadi penyempurna Ar-Rahn dan bukan syarat sahnya.
Menurut Prof. DR. Abdullah Al Thoyyar, yang rajih, bahwasanya Ar-Rahn menjadi keharusan dengan adanya akad transaksi, karena hal itu dapat merealisasikan faidah Ar-Rahn, yaitu berupa pelunasan hutang dengannya atau dengan nilainya, ketika (hutangnya) tidak mampu dilunasi.
Pelaku Praktek Gadai :1. Masyarakat (perorangan)2. Perum Pegadaian3. Perbankan
- 7 -Rukun Gadai Syariah :1. Ar-rahn (yang menggadaikan) dan Al-Murtahin (penerima gadai / yang memberikan pinjaman) adalah orang yang telah dewasa, berakal, bisa dipercaya2. Al-mahrun/Rahn (barang yang digadaikan) harus ada pada saat perjanjian gadai dan barang tersebut merupakan milik sepenuhnya dari pemberi gadai3. Al-Mahruun Bih (Utang) adalah sejumlah dana yang diberikan murtahin kepada rahin atas dasar besarnya tafsiran marhun4. Sighat, Ijab dan Qabul adalah kesepakatan antara rahin dan murtahin dalam melakukan transaksi gadai.
II.5. Kapan Gadai Menjadi Sah
Barang gadai adakalanya berupa barang yang tidak dapat dipindahkan seperti rumah dan tanah, Maka disepakati serah terimanya dengan mengosongkannya untuk murtahin tanpa ada penghalangnya.
Ada kalanya berupa barang yang dapat dipindahkan. Bila berupa barang yang ditakar maka disepakati serah terimanya dengan ditakar pada takaran, bila barang timbangan maka disepakati serah terimanya dengan ditimbang pada takaran. Bila barang timbangan, maka serah terimanya dengan ditimbang dan dihitung, bila barangnya dapat dihitung. Serta dilakukan pengukuran, bila barangnya berupa barang yang diukur.
Namun bila barang gadai tersebut berupa tumpukan bahan makanan yang dijual secara tumpukan, dalam hal ini perselisihan pendapat tantang cara serah terimanya. Ada yang berpendapat dengan cara memindahkannya dari tempat semula, dan ada yang menyatakan cukup dengan ditinggalkan pihak yang menggadaikannya, sedangkan murtahin dapat mengambilnya.
II.6. Hukum-Hukum Setelah Penerimaan Gadai
Ada beberapa ketentuan dalam gadai setelah terjadinya serah terima yang berhubungan dengan pembiayaan (pemeliharaan), pertumbuhan barang gadai dan pemanfaatan serta jaminan pertanggung jawaban bila rusak atau hilang.
[1]. Pemegang Barang Gadai Barang gadai tersebut berada ditangan Murtahin selama masa perjanjian gadai tersebut, sebagaimana firman Allah “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). (Al-Baqarah : 283)Dan sabda beliau “Hewan yang dikendarai dinaiki apabila digadaikan. Dan susu (dari hewan) diminum apabila hewannya digadaikan. Wajib bagi yang mengendarainya dan yang minum, (untuk) memberi nafkahnya.” [16]
[2]. Pembiayaan, Pemeliharaan, Pemanfaatan Barang Gadai Pada asalnya barang, biaya pemeliharaan dan manfaat barang yang digadaikan adalah milik orang yang menggadaikan (Rahin). Adapun Murtahin, ia tidak boleh mengambil manfaat barang gadaian tersebut, kecuali bila barang tersebut berupa kendaraan atau hewan yang diambil air susunya, maka boleh menggunakan dan mengambil air susunya apabila ia memberikan nafkah (dalam arti pemeliharaan barang tersebut). Pemanfaatan barang gadai tesebut, tentunya sesuai dengan besarnya nafkah yang dikeluarkan dan memperhatikan keadilan. Hal ini di dasarkan sabda Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Hewan yang dikendarai dinaiki apabila digadaikan dan susu (dari hewan) diminum apabila hewannya digadaikan. Wajib bagi yang mengendarainya dan yang minum, (untuk) memberi nafkahnya.[17]
[16] Hadits Shohih riwayat Al Tirmidzi
[17] Hadits Shahih riwayat At-Tirmidzi
- 8 -
Menurut Syaikh Al Basaam, ulama sepakat bahwa biaya pemeliharaan barang gadai dibebankan kepada pemiliknya. Demikian juga pertumbuhan dan keuntungan barang tersebut juga menjadi miliknya, kecuali pada dua hal, yaitu kendaraan dan hewan yang memiliki air susu yang diperas oleh yang menerima gadai.[18]. Penulis kitab Al-Fiqhul Muyassarah mengatakan, manfaat dan pertumbuhan barang gadai menjadi hak pihak penggadai, karena barang itu merupakan miliknya. Orang lain tidak boleh mengambilnya tanpa seizinnya. Bila ia mengizinkan Murtahin (pemberi hutang) untuk mengambil manfaat barang gadainya tanpa imbalan, dan hutang gadainya dihasilkan dari peminjaman maka tidak boleh, karena itu berarti peminjaman hutang yang menghasilkan manfaat. Akan tetapi, bila barang gadainya berupa kendaraan atau hewan yang memiliki susu perah, maka Murtahin mengendarainya dan memeras susunya, sesuai besarnya nafkah tanpa izin dari penggadai karena sabda Rasulullah “Ar-Rahn (Gadai) ditunggangi dengan sebab nafkahnya, apabila digadaikan dan susu hewan menyusui diminum dengan sebab nafkah, apabila digadaikan. Dan wajib bagi menungganginya dan meminumnya (untuk) memberi nafkah” [HR Al Bukhori no. 2512]
Demikian madzhab Hanabilah. Adapun mayotitas ulama fiqih dari Hanafiyah, Malikiyah dan Syafi’iyah mereka memandang Murtahin tidak boleh mengambil manfaat barang gadai. Pemanfaatan hanyalah hak penggadai dengan dalil sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Ia yang berhak memanfaatkannya dan wajib baginya biaya pemeliharaannya” [HR Al daraquthni dan Al Hakim]
Mereka tidak mengamalkan hadits pemanfaatan kendaraan dan hewan perah sesuai nafkahnya, kecuali Ahmad dan inilah yang rajih Insya Allah karena hadits shohih tersebut. [Al Fiqh Al Muyassar hal 117]
Ibnul Qayyim rahimahullah memberikan komentar terhadap hadits pemanfaatan kendaraan gadai, bahwa hadits ini dan kaidah dan ushul syari’at menunjukkan, hewan gadai dihormati karena hak Allah. Pemiliknya memiliki hak kepemilikan, dan Murtahin (yang memberikan hutang) memiliki atasnya sebagai hak jaminan. Bila barang gadai tersebut ditangannya, lalu tidak dinaiki dan tidak diperas susunya, tentu kemanfaatannya akan hilang secara sia-sia. Sehingga tuntutan keadilan, analogi (qiyas) dan kemaslahatan penggadai, pemegang barang gadai (Murtahin) dan hewan tersebut, ialah Murtahin mengambil manfaat mengendarai dan memeras susunya, dan menggantikannya dengan menafkahi (hewan tersebut). Bila Murtahin menyempurnakan pemanfaatannya dan menggantinya dengan nafkah, maka dalam hal ini terdapat kompromi dua kemaslahatan dan dua hak.[19]




- 9 -[18] Lihat pembahsannya dalam Taudhih Al Ahkam 4/462-477
[19] Dinukil dari Taudhih Al Ahkaam 4/462
[3]. Pertumbuhan Barang Gadai Pertumbuhan atau pertambahan barang gadai setelah digadaikan adakalanya bergabung dan adakalanya terpisah. Bila tergabung seperti, (bertambah) gemuk, maka ia masuk dalam barang gadai dengan kesepakatan ulama. Sedangkan jika terpisah, maka dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan yang menyepakatinya memandang pertambahan atau pertumbuhan barang gadai yang terjadi setelah barang gadai ditangan Murtahin, maka ikut kepada barang gadai tersebut. Sedangkan Imam Syafi’i dan Ibnu Hazm dan yang menyepakatinya memandang, pertambahan atau pertumbuhan bukan ikut barang gadai, tetapi menjadi milik orang yang menggadaikannya. Hanya saja Ibnu Hazm berbeda dengan Syafi’i menyangkut barang gadai yang berupa kendaraan dan hewan menyusui. Ibnu Hazm berpendapat, dalam kendaraan dan hewan yang menyusui, (pertambahan dan pertumbuhannya) milik yang menafkahinya[20]
[4]. Perpindahan Kepemilikan Dan Pelunasan Hutang Dengan Barang Gadai Barang gadai tidak berpindah kepemilikannya kepada Murtahin apabila telah selesai masa perjanjiannya, kecuali dengan izin orang yang menggadaikannya (Rahin), dan rahin tidak mampu melunasinya
Pada zaman jahiliyah dahulu apabila telah jatuh tempo pembayaran hutang dan orang yang menggadaikan belum melunasi hutangnya kepada pihak yang berpiutang, maka pihak yang berpiutang menyita barang gadai tersebut secara langsung tanpa izin orang yang menggadaikannya. Lalu Islam membatalkan cara yang dzalim ini dan menjelaskan bahwa barang gadai tersebut adalah amanat pemiliknya ditangan pihak yang berpiutang, tidak boleh memaksa orang yang menggadaikannya menjualnya kecuali dalam keadaan tidak mampu melunasi hutangnya tesebut.
Bila tidak mampu melunasi saat jatuh tempo, maka barang gadai tersebut dijual untuk membayar pelunasan hutang tersebut. Apa bila ternyata ada sisanya maka sisa tersebut menjadi hak pemilik barang gadai tersebut (orang yang menggadaikan barang tersebut). Sebaliknya, bila harga barang tersebut belum dapat melunasi hutangnya, maka orang yang menggadaikannya tersebut masih menanggung sisa hutangnya.







[20] Abhats Hai'at Kibar Ulama 6/134-135
- 10 -
BAB III
PENUTUP

III.1. Kesimpulan
Barang gadai adalah milik orang yang menggadaikannya. Namun bila telah jatuh tempo, maka penggadai meminta kepada Murtahin untuk menyelesaikan permasalah hutangnya, dikarenakan hutangnya yang sudah jatuh tempo, harus dilunasi seperti hutang tanpa gadai. Bila Rahin dapat melunasi seluruhnya tanpa (menjual atau memindahkan kepemilikian) barang gadainya, maka Murtahin harus melepas barang tersebut. Adapun bila Rahin tidak mampu melunasi seluruhnya atau sebagiannya, maka wajib bagi orang yang menggadaikan (Ar-Rahin) menjual sendiri barang gadainya atau melalui wakilnya, dengan izin dari Murtahin, dan dalam pembayaran hutnganya didahulukan Murtahin atas pemilik piutang lainnya. Apabila penggadai tersebut enggan melunasi hutangnya dan tidak mau menjual barang gadainya, maka pemerintah boleh menghukumnya dengan penjara, agar ia menjual barang gadainya tersebut. Apabila tidak juga menjualnya maka pemerintah menjual barang gadai tersebut dan melunasi hutang tersebut dari nilai hasil jualnya. Demikianlah pendapat madzhab Syafi’iyah dan Hambaliyah. Adapun Malikiyah, mereka memandang pemerintah boleh menjual barang gadainya tanpa memenjarakannya dan melunasi hutang tersebut dengan hasil penjualannya. Sedangkan Hanafiyah memandang, Murtahin boleh menagih pelunasan hutang kepada penggadai dan meminta pemerintah untuk memenjarakannya, bila tampak pada Ar-Rahin tidak mau melunasinya. Pemerintah (pengadilan) tidak boleh menjual barang gadainya, namun memenjarakannya saja, sampai ia menjualnya dalam rangka menolak kedzoliman.
Demikianlah keindahan Islam dalam permasalah gadai. Penyelesaian dan pelunasan hutang dilakukan secara adil. Tidak seperti yang dilakukan di tengah masyarakat kebanyakan. Yakni terjadinya tindak kezhaliman yang dilakukan pemilik piutang, dengan cara menyita barang gadai, walau nilainya lebih besar dari hutangnya, bahkan mungkin berlipat-lipat.
III.2. Saran
Perbuatan semacam ini, sangat jelas merupakan perbuatan Jahiliyah dan perbuatan zhalim yang harus dihilangkan. Semoga kita terhindar dari perbuatan ini.



- 11 -

Daftar pustaka
Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hope, 1996.

Ibnn Rusdy, Bidaya al-Mujtahid, alih bahasa Imam Gazali Said, Jakarta: Pustaka Amini, 1991.

Imam al’ama Ibn Mandur, Lisan al-Arab, Beirut: Muassah Tarikh al-Arabi, 1999.

Imam Bukhari, Sahih Bukhari, Kutub al-Tis’ah (CD).

Sabiq, Sayyid, Fiqh us-Sunnah, Muhammad Sa‘eed Dabas, Jamal al-Din M. Zarabozo, translators, Indianapolis, Ind., USA: American Trust Publications, c1985.
Sudarsono, Heri, 2007. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. Yogyakarta: Ekonisia.
Muhammad, Sholikul Hadi, 2003. Pegadaian Syariah. Jakarta: Salemba Diniyah.
Harian Umum Republika, 10 Oktober 2008.
http://www.msi-uii.net
http://cafepojok.com/forum/showthread.php?t=25139
http://jacksite.wordpress.com/2007/07/03/hukum-gadai-agunan-dalam-islam/
http://www.pegadaian.co.id/produk_syariah.php?a=
http://issuu.com/sharing/docs/0407/13
http://www.hendrakholid.net/blog/2008/12/pegadaian-syariah/ http://issuu.com/sharing/docs/0407/13
http://etd.library.ums.ac.id/go.php?id=jtptums-gdl-s1-2007-winarnoi00-4384&node=1145&start=6



- 12 -

No comments:

Post a Comment