BAB I
TINNJAUAN PUSTAKA
I.1 Definisi
Menurut Betz (2002)
dalam hidayat (2009) Atresia Ani adalah kelainan kongenital yang dikenal
sebagai anus imperforate meliputi anus, rectum atau keduanya
Purwanto (2001) dalam
hidayat (2009) Atresia ini atau anus imperforate adalah tidak terjadinya
perforasi membran yang memisahkan bagian entoderm mengakibatkan pembentukan
lubang anus yang tidak sempurna. Anus tampak rata atau sedikit cekung ke dalam
atau kadang berbentuk anus namun tidak berhubungan langsung dengan rectum.
Atresia Ani merupakan
kelainan bawaan (kongenital), tidak adanya lubang atau saluran anus (Donna L.
Wong, 520 : 2003).
Atresia ani adalah suatu Istilah digunakan untuk menggambarkan keadaan
saluran anorectal yang abnormal (harnawatiaj, 2008)
Atresia berasal dari bahasa
Yunani, a artinya tidak ada, trepis artinya nutrisi atau makanan. Dalam istilah
kedokteran atresia itu sendiri adalah keadaan tidak adanya atau tertutupnya
lubang badan normal atau organ tubular secara kongenital disebut juga clausura.
Dengan kata lain tidak adanya lubang di tempat yang seharusnya berlubang atau
buntunya saluran atau rongga tubuh, hal ini bisa terjadi karena bawaan sejak
lahir atau terjadi kemudian karena proses penyakit yang mengenai saluran itu.
Atresia dapat terjadi pada seluruh saluran tubuh, misalnya atresia ani. Atresia
ani yaitu tidak berlubangnya dubur. Atresia ani memiliki nama lain yaitu anus
imperforata. Jika atresia terjadi maka
hampir selalu memerlukan tindakan operasi untuk membuat saluran seperti keadaan
normalnya
Menurut Ladd dan Gross
(1966) dalam hidayat (2009) anus
imperforata dalam 4 golongan, yaitu:
1. Stenosis rektum yang lebih rendah
atau pada anus
2. Membran anus yang menetap
3. Anus imperforata dan ujung rektum yang buntu terletak pada bermacam-macam jarak dari peritoneum
4. Lubang anus yang terpisah dengan ujung
2. Membran anus yang menetap
3. Anus imperforata dan ujung rektum yang buntu terletak pada bermacam-macam jarak dari peritoneum
4. Lubang anus yang terpisah dengan ujung
I.2
Klasifikasi
Menurut Ajibarang ( 2008 ) Secara fungsional, pasien atresia ani dapat
dibagi menjadi 2 kelompok besar yaitu :
1. Yang tanpa anus tetapi dengan
dekompresi adequate traktus gastrointestinalis dicapai melalui saluran fistula
eksterna.
Kelompok ini terutma melibatkan bayi
perempuan dengan fistula rectovagina atau rectofourchette yang relatif besar,
dimana fistula ini sering dengan bantuan dilatasi, maka bisa didapatkan
dekompresi usus yang adequate sementara waktu.
2. Yang tanpa anus dan tanpa
fistula traktus yang tidak adequate untuk jalam keluar tinja.
Pada kelompok ini tidak ada mekanisme
apapun untuk menghasilkan dekompresi spontan kolon, memerlukan beberapa bentuk
intervensi bedah segera. Pasien bisa diklasifikasikan lebih lanjut menjadi 3
sub kelompok anatomi yaitu :
1.
Anomali rendah
Rectum mempunyai jalur desenden normal melalui otot
puborectalis, terdapat sfingter internal dan eksternal yang berkembang baik
dengan fungsi normal dan tidak terdapat hubungan dengan saluran
genitourinarius.
2.
Anomali intermediet
Rectum berada pada atau di bawah
tingkat otot puborectalis; lesung anal dan sfingter eksternal berada pada
posisi yang normal.
3.
Anomali tinggi
Ujung rectum di atas otot puborectalis
dan sfingter internal tidak ada. Hal ini biasanya berhungan dengan fistuls
genitourinarius – retrouretral (pria) atau rectovagina (perempuan). Jarak
antara ujung buntu rectum sampai kulit perineum lebih daai1 cm.
Sedangkan menurut klasifikasi
Wingspread (1984) dalam Ajibarang (2008) atresia ani dibagi 2 golongan yang
dikelompokkan menurut jenis kelamin. Pada laki – laki golongan I dibagi menjadi
4 kelainan yaitu kelainan fistel urin, atresia rectum, perineum datar dan
fistel tidak ada. Jika ada fistel urin, tampak mekonium keluar dari orifisium
eksternum uretra, mungkin terdapat fistel ke uretra maupun ke vesika urinaria. Cara
praktis menentukan letak fistel adalah dengan memasang kateter urin. Bila
kateter terpasang dan urin jernih, berarti fistel terletak uretra karena fistel
tertutup kateter. Bila dengan kateter urin mengandung mekonuim maka fistel ke
vesikaurinaria. Bila evakuasi feses tidak lancar, penderita memerlukan
kolostomi segera. Pada atresia rectum tindakannya sama pada perempuan ; harus
dibuat kolostomi. Jika fistel tidak ada dan udara > 1 cm dari kulit pada
invertogram, maka perlu segera dilakukan kolostomi.
Sedangkan pada perempuan golongan I dibagi menjadi 5
kelainan yaitu kelainan kloaka, fistel vagina, fistel rektovestibular, atresia
rectum dan fistel tidak ada. Pada fistel vagina, mekonium tampak keluar dari
vagina. Evakuasi feces menjadi tidak lancar sehingga sebaiknya dilakukan
kolostomi. Pada fistel vestibulum, muara fistel terdapat divulva. Umumnya
evakuasi feses lancar selama penderita hanya minum susu. Evakuasi mulai etrhambat saat
penderita mulai makan makanan padat. Kolostomi dapat direncanakan bila
penderita dalam keadaan optimal. Bila terdapat kloaka maka tidak ada pemisahan
antara traktus urinarius, traktus genetalis dan jalan cerna. Evakuasi feses
umumnya tidak sempurna sehingga perlu cepat dilakukan kolostomi.Pada atresia
rectum, anus tampak normal tetapi pada pemerikasaan colok dubur, jari tidak
dapat masuk lebih dari 1-2 cm. Tidak ada evakuasi mekonium sehingga perlu
segera dilakukan kolostomi. Bila tidak ada fistel, dibuat invertogram. Jika
udara > 1 cm dari kulit perlu segera dilakukan kolostomi.
Golongan II pada laki – laki
dibagi 4 kelainan yaitu kelainan fistel perineum, membran anal, stenosis anus,
fistel tidak ada. Fistel perineum sama dengan pada wanita ; lubangnya terdapat
anterior dari letak anus normal. Pada membran anal biasanya tampak bayangan
mekonium di bawah selaput. Bila evakuasi feses tidak ada sebaiknya dilakukan
terapi definit secepat mungkin. Pada stenosis anus, sama dengan perempuan,
tindakan definitive harus dilakukan. Bila tidak ada fistel dan udara.
Sedangkan golongan II pada perempuan dibagi 3 kelainan
yaitu kelainan fistel perineum, stenosis anus dan fistel tidak ada. Lubang
fistel perineum biasanya terdapat diantara vulva dan tempat letak anus normal,
tetapi tanda timah anus yang buntu menimbulkan obstipasi. Pada stenosis anus,
lubang anus terletak di tempat yang seharusnya, tetapi sangat sempit. Evakuasi
feses tidal lancar sehingga biasanya harus segera dilakukan terapi definitive. Bila
tidak ada fistel dan pada invertogram udara
1. Saluran anus atau rektum
bagian bawah mengalami stenosis dalam berbagai derajat
2. Terdapatnya suatu membran
tipis yang menutupi anus karena menetapnya membran
anus.
3. Anus tidak terbentuk dan rektum berakhir sebagai suatu suatu kantung
yang buntu terletak pada jarak tertentu dari kulit di daerah anus yang
seharusnya terbentuk lekukan anus)
4. Saluran anus dan rektum bagian bawah membentuk suatu kantung buntu yang
terpisah,pada jarak tertentu dari ujung rektum yang berakhir sebagai kantung
buntu.
5. Kelainan yang berdasarkan hubungan antara bagian terbawah rektum yang
normal dengan otot puborektalis yangmemiliki
fungsi sangat penting dalam proses defekasi,dikenal sebagaiklasifikasi
melboume.
6. Kelainan letak rendah Rektum telah menembus "lebator sling"
sehingga sfingter ani internal dalam keadaan utuh dan dapat berfungsi normal
contohnya berupa stenosis anus (tertutupnya anus oleh suatu membran tipis yang
seringkali disertai fistula anokutaneus dan anus ektopikyang selalu terletak
dianterior lokasi anus yang normal).
7. Rektum berupa kelainan
letak tengah Di daerah anus seharusnya terbentuk secara lazim terdapat lekukan
anus (anal dimple) yang cukup dalam. Namun,pada kelainan yang jarang ditemukan ini sering
terdapat fistula rektouretra yang menghubungkan rektum yang buntu dengan uretra
pars bulbaris.
8. Kelainan letak tinggi. Kelainan ini lebih banyak ditemukan pada bayi
laki-laki, sebaliknya kelinan letak redah sering ditemukan pada bayi perempuan.
Pada perempuan dapat ditemukan fistula -and kutaneus, fistula rektoperinium dan
fistula rektovagina. Sedangkan pada laki-laki dapat ditemukan dua bentuk
fistula yaitu fistula ektourinaria dan fistula rektoperineum. Fistula ini
menghubungkan rektum dengan kandung kemih pada daerah trigonum vesika. Fistula
tidak dapat dilalui jika mekonoium jika brukuran sangat kecil, sedangkan
fistula dapat mengeluarkan mekonium dalam rektum yang buntu jika berukuran
cukup besar. Oleh karena itu, dapat terjadi kelainan bentuk anorektum disertai
fistula
9. Kelainan bawaan anus juga
dapat disebabkan gangguan pertumbuhan dan fusi
10. Gangguan pemisahan kloaka menjadi rektum dan sinus urogenital
I.3 Etiologi
Menurut hidayat (2009) Atresia dapat
disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
1. Putusnya saluran
pencernaan dari atas dengan daerah dubur sehingga bayi lahir tanpa lubang dubur
2. Kegagalan pertumbuhan saat
bayi dalam kandungan berusia 12 minggu/3 bulan
3. Adanya gangguan atau
berhentinya perkembangan embriologik didaerah usus, rektum bagian distal serta
traktus urogenitalis, yang terjadi antara minggu keempat sampai keenam usia
kehamilan.
Menurut blog (2009) secara pasti atresia ani belum diketahui, namun ada
sumber mengatakan kelainan bawaan anus disebabkan oleh gangguan pertumbuhan,
fusi, dan pembentukan anus dari tonjolan embriogenik. Pada kelainan bawaananus
umumnya tidak ada kelainan rectum, sfingter, dan otot dasar panggul. Namun
demikian pada agenesis anus, sfingter internal mungkin tidak memadai. Menurut
peneletian beberapa ahli masih jarang terjadi bahwa gen autosomal resesif yang
menjadi penyebab atresia ani. Orang tua yang mempunyai gen carrier penyakit ini
mempunyai peluang sekitar 25% untuk diturunkan pada anaknya saat kehamilan. 30%
anak yang mempunyai sindrom genetic, kelainan kromosom atau kelainan congenital
lain juga beresiko untuk menderita atresia ani. Sedangkan kelainan bawaan
rectum terjadi karena gangguan pemisahan kloaka menjadi rectum dan sinus
urogenital sehingga biasanya disertai dengan gangguan perkembangan septum
urorektal yang memisahkannya.
I.4 Patofisiologi
Anus dan rectum berkembang
dari embrionik bagian belakang. Ujung ekor dari bagian belakang berkembang
menjadi kloaka yang merupakan bakal genitoury
dan struktur anorektal. Terjadi stenosis anal karena adanya penyempitan pada
kanal anorektal. Terjadi atresia anal karena tidak ada kelengkapan migrasi dan
perkembangan struktur kolon antara 7 dan 10 mingggu dalam perkembangan fetal. Kegagalan
migrasi dapat juga karena kegagalan dalam agenesis sacral dan abnormalitas pada
uretra dan vagina. Tidak ada pembukaan usus besar yang keluar anus menyebabkan
fecal tidak dapat dikeluarkan sehungga intestinal mengalami obstrksi.
I.5 Patoflow
I.6 Manifestasi Klinis
Menurut Nining (2008) gejala yang
timbul:
1.
Mekonium tidak keluar dalam waktu 24-48 jam setelah lahir
2.
Tinja keluar dari vagina atau uretra
3.
Perut menggembung
4.
Muntah
5.
Tidak bisa buang air
besar
6.
Tidak adanya anus, dengan ada/tidak adanya fistula
7.
Pada atresia ani letak rendah mengakibatkan distensi perut, muntah,
gangguan cairan elektrolit dan asam basa.
I.7
Pemeriksaan Penunjang
Anamnesis perjalanan penyakit
yang khas dan gambaran klinis perut membuncit seluruhnya merupakan kunci
diagnosis pemeriksaan penunjang yang dapat membantu menegakkan diagnosis ialah
pemeriksaan radiologik dengan enema barium. disini akan terlihat gambaran klasik
seperti daerah transisi dari lumen sempit kedaerah yang melebar. pada foto 24
jam kemudian terlihat retensi barium dan gambaran makrokolon pada hirschsprung
segmen panjang. Pemeriksaan biopsi hisap rektum dapat digunakan untuk mencari
tanda histologik yang khas yaitu tidak adanya sel ganglion parasimpatik
dilapisan muskularis mukosa dan adanya serabut syaraf yang menebal pada
pemeriksaan histokimia, aktifitas kolinaterase meningkat.
Atresia ani biasanya jelas sehingga diagnosis sering dapat ditegakkan segera setelah bayi lahir dengan melakukan inspeksi secara tepat dan cermat pada daerah perineum. Diagnosis kelainan anurektum tipe pertama dan keempat dapat terlewatkan sampai diketahui bayi mengalami distensi perut dan tidak mengalami kesulitan mengeluarkan mekonium. ( Nining, 2008)
Atresia ani biasanya jelas sehingga diagnosis sering dapat ditegakkan segera setelah bayi lahir dengan melakukan inspeksi secara tepat dan cermat pada daerah perineum. Diagnosis kelainan anurektum tipe pertama dan keempat dapat terlewatkan sampai diketahui bayi mengalami distensi perut dan tidak mengalami kesulitan mengeluarkan mekonium.
Pada bayi dengan kelainan tipe
satu/kelainan letak rendah baik berupa stenosis atau anus ektopik sering
mengalami kesulitan mengeluarkan mekonium. Pada stenosis yang ringan, bayi
sering tidak menunjukkan keluhan apapun selama beberapa bulan setelah lahir. Megakolon
sekunder dapat terbentuk akibat adanya obstruksi kronik saluran cerna bagian
bawah daerah stenosis yang sering bertambah berat akibat mengerasnya tinja.
Bayi dengan kelainan tipe kedua yang tidak disertai fistula/fistula terlalu
kecil untuk dilalui mekonium sering akan mengalami obstruksi usus dalam 48 jam
stelah lahir. Didaerah anus seharusnya terentukpenonjolan membran tipis yang
tampak lebih gelap dari kulit disekitarnya, karena mekonium terletak dibalik
membran tersebut. Kelainan letak tinggi atau agenesis rectum seharusnya
terdapat suatu lekukan yang berbatas tegas dan memiliki pigmen yang lebih
banyak daripada kulit disekitarnya sehingga pada pemeriksaan fisik dapat
ditemukan lubang fistulla pada dinding posterior vagina/perinium, atau tanda-tanda
adanya fistula rektourinaria. Fistula rektourinaria biasanya ditandaioleh
keluarnya mekonium serta keluarnya udara dari uretra. Diagnosis keempat dapat
terlewatkan sampai beberpa hari karena bayi tampak memiliki anus yang normal
namun salurran anus pendek dan berakhir buntu. Mnifestasi obstruksi usus
terjadi segera setelah bayi lahir karena bayi tidak dapat mengeluarkan
mekonium.Diagnosis biasanya dapat dibuat dengan pemeriksaan colok dubur. (Nining,
2008)
I.8
Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada
penderita atresia ani antara lain :
a. Asidosis hiperkioremia.
b. Infeksi saluran kemih yang bisa berkepanjangan.
c. Kerusakan uretra (akibat prosedur bedah).
d. Komplikasi jangka panjang.
- Eversi mukosa anal
- Stenosis (akibat kontriksi jaringan perut dianastomosis)
e. Masalah atau kelambatan yang berhubungan dengan toilet training.
f. Inkontinensia (akibat stenosis awal atau impaksi)
g. Prolaps mukosa anorektal.
h. Fistula kambuan (karena ketegangan diare pembedahan dan infeksi)
(Ngustiyah (1997) dalam hidayat (2009))
I.9.
Penatalaksanaan
Menurut Nining (2008)Penanganan
secara preventif antara lain:
1. Kepada ibu hamil hingga
kandungan menginjak usia tiga bulan untuk berhati-hati terhadap obat-obatan,
makanan awetan dan alkohol yang dapat menyebabkan atresia ani.
2. Mmeriksa lubang dubur bayi
saat baru lahir karena jiwanya terancam jika sampai tiga hari tidak diketahui
mengidap atresia ani karena hal ini dapat berdampak feses atau tinja akan
tertimbun hingga mendesak paru-parunya.
3. Pengaturan diet yang baik dan
pemberian laktulosa untuk menghindari konstipasi.
1.
melakukan pemeriksaan
colok dubur
2.
melakukan pemeriksaan
radiologik pemeriksaan foto rontgen bermanfaat dalam usaha menentukan letak
ujung rectum yang buntu setelah berumur 24 jam, bayi harus diletakkan dalam
keadaan posisi terbalik sellama tiga menit, sendi panggul dalam keadaan sedikit
ekstensi lalu dibuat foto pandangan anteroposterior dan lateral setelah petanda
diletakkan pada daerah lakukan anus.
3. melakukan tindakan kolostomi
neonatus tindakan ini harus segera diambil jika tidak ada evakuasi mekonium.
4. pada stenosis yang berat perlu
dilakukan dilatasi setrap hari dengan kateter uretra, dilatasi hegar, atau
speculum hidung berukuran kecil selanjutnya orang tua dapat melakukan dilatasi
sendiri dirumah dengan jari tangan yang dilakukan selama 6 bulan sampai daerah
stenosis melunak dan fungsi defekasi mencapai keadaan normal.
5. melakukan operasi anapelasti
perineum yang kemudian dilanjutkan dengan dilatasi pada anus yang baru pada
kelainan tipe dua.
6. pada kelainan tipe tiga
dilakukan pembedahan rekonstruktif melalui anoproktoplasti pada masa neonatus
7. melakukan pembedahan
rekonstruktif antara lain: operasi abdominoperineum pada usia (1 tahun) operasi
anorektoplasti sagital posterior pada usia (8-12 bulan) pendekatan sakrum
setelah bayi berumur (6-9 bulan)
8. penanganan tipe empat
dilakukan dengan kolostomi kemudian dilanjutkan dengan operasi "abdominal
pull-through" manfaat kolostomi adalah antara lain:
a. mengatasi obstruksi usus
b. memungkinkan pembedahan
rekonstruktif untuk dikerjakan dengan lapangan
operasi yang bersih
c. memberi kesempatan pada
ahli bedah untuk melakukan pemeriksaan lengkap
dalam usaha menentukan letak ujung rektum yang buntu serta menemukan kelainan
bawaan yang lain.
Pada kasus atresia ani atau
anus imperforata ini pengobatannya dilakukan dengan jalan operasi. Teknik
terbaru dari operasi atresia ani ini adalah teknik Postero Sagital Ano Recto
Plasty (PSARP). Teknik ini punya akurasi tinggi untuk membuka lipatan bokong
pasien. Teknik ini merupakan ganti dari teknik lama, yaitu Abdomino Perineal
Poli Through (APPT). Teknik lama ini punya resiko gagal tinggi karena harus
membuka dinding perut. (Nining, 2008)
No comments:
Post a Comment