Pengertian
Infeksi Saluran Pernafasan Akut merupakan sekelompok penyakit kompleks dan
heterogen yang disebabkan oleh berbagai penyebab dan dapat mengenai setiap
lokasi di sepanjang saluran nafas (WHO, 1986).
ISPA merupakan salah satu penyebab utama dari
tingginya angka kematian dan angka kesakitan pada balita dan bayi di Indonesia.
Dalam Pelita IV penyakit tersebut mendapat prioritas tinggi dalam bidang
kesehatan (Depkes, 1998).
Secara klinis ISPA adalah suatu tanda dan
gejala akut akibat infeksi yang terjadi di setiap bagian saluran pernafasan dan
berlangsung tidak lebih dari 14 hari. Adapun yang termasuk ISPA adalah
influenza, campak, faringitis, trakeitis, bronkhitis akut, brokhiolitis, dan
pneumonia (Yuliastuti, 1992).
Menurut
hasil lokakarya ISPA II tahun 1988, ISPA adalah infeksi saluran pernafasan yang
berlangsung dalam jangka waktu sampai 14 hari, dimana yang dimaksud dengan
saluran pernafasan adalah organ dan hidung sampai alveoli beserta organ-organ
adneksanya (misalnya sinus paranasalis, ruang telinga tengah, pleura).
Saluran
pernafasan menurut anatominya dapat dibagi menjadi saluran pernafasan atas,
yaitu mulai dari hidung sampai laring, dan saluran pernafasan bawah, mulai dari
laring sampai alveoli (Nelson, 1983; Said dkk, 1989). Dengan demikian, infeksi
saluran pernafasan akut dapat dibagi menjadi ISPA atas dan ISPA bawah. Yang
dimaksud ISPA atas ialah infeksi akut yang secara primer mempengaruhi susunan
saluran pernafasan di atas laring, sedangkan ISPA bawah ialah infeksi akut yang
secara primer mempengaruhi saluran pernafasan bawah laring (Nelson, 1983).
Morbiditas dan mortalitas
Insiden
ISPA anak di negara berkembang maupun negara yang telah maju tidak berbeda, tetapi jumlah
angka kesakitan di negara berkembang lebih banyak (WHO, 1992). Berbagai laporan
mennyatakan bahwa ISPA anak merupakan penyakit yang paling sering pada anak,
mencapai kira-kira 50% dari semua penyakit balita dan 30% pada anak usia 5-12
tahun. Umumnya infeksi biasanya mengenai saluran nafas bagian atas, hanya
kurang dari 5% yang mengenai saluran pernafasan bawah.
Kejadian
ISPA pada balita lebih sering terjadi di daerah perkotaan dibandingkan pada
balita di daerah pedesaan. Seorang anak yang tinggal di daerah perkotaan akan
mengalami ISPA sebanyak 5-8 episode setahun, sedangkan bila tinggal di pedesaan
sebesar 3-5 episode (WHO, 1992).
ISPA
merupakan penyakit yang utama dari layanan rawat jalan meliputi 25-40% balita
yang berobat, dan ISPA pula yang merupakan penyebab rawat inap balita di rumah
sakit sekitar 30-35% dari seluruh balita yang dirawat inap.
Angka
kematian yang tinggi karena ISPA khususnya pneumonia masih merupakan masalah di
beberapa negara berkembang termasuk Indonesia. WHO (1992) memperkirakan 12,9
juta balita meninggal dunia karena ISPA terutama pneumonia.
Menurut
survei kesehatan rumah tangga (1990) ISPA merupakan penyakit yang menyebabkan
kematian nomor dua setelah diare, tetapi terjadinya perubahan proporsi kematian
pada SKRT 1986 dan 1992, ISPA merupakan penyebab utama kematian pada bayi dan
nomor dua pada balita (Darmawan, 1995).
Penyebab
Mayoritas
penyebab dari ISPA adalah oleh virus, dengan frekuensi lebih dari 90% untuk
ISPA bagian atas, sedangkan untuk ISPA bagian bawah frekuensinya lebih kecil
(WHO, 1984). Dalam Harrison’s Principle of Internal Medicine disebutkan bahwa
penyakit infeksi saluran nafas akut bagian atas mulai dari hidung, nasofaring, sinus paranasalis sampai
dengan laring hampir 90% disebabkan oleh viral (Adams dkk, 1988), sedangkan
infeksi akut saluran nafas bagian bawah hampir 50% diakibatkan oleh bakteri di
mana Streptococcus Pneumonia adalah yang bertanggung jawab untuk
kurang lebih 70-90%, sedangkan Stafilococcus
Aureus dan H. Influenza sekitar 10-20% (Robert, 1986). Saat
ini telah diketahui bahwa infeksi saluran pernafasan akut ini melibatkan lebih
dari 300 tipe antigen dari bakteri maupun virus tersebut (WHO, 1984).
Nelson
(1983) juga mengemukakan bahwa kebanyakan penyebab infeksi saluran pernafasan
akut disebabkan oleh virus dan mikoplasma, dengan pengecualian epiglotitis akut
dan pnemonia dengan distribusi lobular.
Adapun
virus-virus (agen non bakterial) yang banyak ditemukan pada ISPA bagian bawah
pada bayi dan anak-anak adalah Respiratory
syncytial virus (RSV), adenovirus, parainfluenza,
danvirus influenza A
& B.
Faktor resiko
Beberapa
faktor mempengaruhi tingginya mortalitas dan morbiditas ISPA serta berat
ringannya penyakit, faktor inilah yang dikenal sebagai faktor risiko. Berbagai
penelitian mengenai faktor risiko telah dilakukan baik di negara maju maupun di
negara berkembang. Nampaknya faktor risiko di negera industri agak berlainan
dari faktor risiko di negara berkembang. Beberapa faktor risiko yang telah
diketahui antara lain, malnutrisi, kelahiran dengan berat badan rendah (BBLR),
pemberian ASI, kepadatan hunian, sosioekonomi yang rendah, asap rokok, cuaca,
pendidikan orang tua, dan lain-lain. Sedangkan beberapa lainnya masih
diperdebatkan, seperti peran vitamin A. Secara umum faktor risiko dapat
dikelompokkan menjadi faktor diri (host) dan faktor lingkungan (Koch et al, 2003).
Menurut
WHO (1992) beberapa faktor yang telah diketahui mempengaruhi pneumonia dan
kematian ISPA adalah malnutrisi, pemberian ASI kurang cukup, imunisasi tidak
lengkap, defisiensi vitamin A, BBLR, umur muda, kepadatan hunian, udara dingin,
jumlah kuman yang banyak di tenggorokan, terpapar polusi udara oleh asap rokok,
gas beracun dan lain-lain.
Faktor-faktor
resiko yang berperan dalam kejadian ISPA pada anak adalah sebagai berikut:
1. Faktor host (diri)
a. Usia
Kebanyakan
infeksi saluran pernafasan yang sering mengenai anak usia dibawah 3 tahun,
terutama bayi kurang dari 1 tahun. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa anak
pada usia muda akan lebih sering menderita ISPA daripada usia yang lebih lanjut
(Koch et al, 2003).
b. Jenis kelamin
Meskipun
secara keseluruhan di negara yang sedang berkembang seperti Indonesia masalah
ini tidak terlalu diperhatikan, namun banyak penelitian yang menunjukkan adanya
perbedaan prevelensi penyakit ISPA terhadap jenis kelamin tertentu.
Angka kesakitan
ISPA sering terjadi pada usia kurang dari 2 tahun, dimana angka kesakitan ISPA
anak perempuan lebih tinggi daripada laki-laki di negara Denmark (Koch et al, 2003)
c. Status gizi
Interaksi
antara infeksi dan Kekurangan Kalori Protein (KKP) telah lama dikenal, kedua
keadaan ini sinergistik, saling mempengaruhi, yang satu merupakan predisposisi
yang lainnya (Tupasi, 1985). Pada KKP, ketahanan tubuh menurun dan virulensi
pathogen lebih kuat sehingga menyebabkan keseimbangan yang terganggu dan akan
terjadi infeksi, sedangkan salah satu determinan utama dalam mempertahankan
keseimbangan tersebut adalah status gizi anak.
d. Status imunisasi
Tupasi
(1985) mendapatkan bahwa ketidakpatuhan imunisasi berhubungan dengan
peningkatan penderita ISPA walaupun tidak bermakna. Hal ini sesuai dengan
penelitian lain yang mendapatkan bahwa imunisasi yang lengkap dapat memberikan
peranan yang cukup berarti dalam mencegah kejadian ISPA (Koch et al, 2003).
e. Pemberian suplemen vitamin A
Pemberian
vitamin A pada balita sangat berperan untuk masa pertumbuhannya, daya tahan
tubuh dan kesehatan terutama pada penglihatan, reproduksi, sekresi mukus dan untuk mempertahankan sel
epitel yang mengalami diferensiasi.
f. Pemberian air susu ibu (ASI)
ASI adalah
makanan yang paling baik untuk bayi terutama pada bulan-bulan pertama
kehidupannya. ASI bukan hanya merupakan sumber nutrisi bagi bayi tetapi juga
sebagai sumber zat antimikroorganisme yang kuat, karena adanya beberapa faktor
yang bekerja secara sinergis membentuk sistem biologis.
ASI dapat
memberikan imunisasi pasif melalui penyampaian antibodi dan sel-sel
imunokompeten ke permukaan saluran pernafasan atas (William and Phelan, 1994).
2. Faktor lingkungan
a. Rumah
Rumah
merupakan stuktur fisik, dimana orang menggunakannya untuk tempat berlindung
yang dilengkapi dengan fasilitas dan pelayanan yang diperlukan, perlengkapan
yang berguna untuk kesehatan jasmani, rohani dan keadaan sosialnya yang baik
untuk keluarga dan individu (WHO, 1989).
Anak-anak
yang tinggal di apartemen memiliki faktor resiko lebih tinggi menderita ISPA
daripada anak-anak yang tinggal di rumah culster di Denmark (Koch et al, 2003).
b. Kepadatan hunian (crowded)
Kepadatan
hunian seperti luar ruang per orang, jumlah anggota keluarga, dan masyarakat
diduga merupakan faktor risiko untuk ISPA. Penelitian oleh Koch et al (2003) membuktikan bahwa kepadatan
hunian (crowded) mempengaruhi secara bermakna prevalensi ISPA berat.
c. Status sosioekonomi
Telah
diketahui bahwa kepadatan penduduk dan tingkat sosioekonomi yang rendah
mempunyai hubungan yang erat dengan kesehatan masyarakat. Tetapi status
keseluruhan tidak ada hubungan antara status ekonomi dengan insiden ISPA, akan
tetapi didapatkan korelasi yang bermakna antara kejadian ISPA berat dengan
rendahnya status sosioekonomi (Darmawan,1995).
d. Kebiasaan merokok
Pada
keluarga yang merokok, secara statistik anaknya mempunyai kemungkinan terkena
ISPA 2 kali lipat dibandingkan dengan anak dari keluarga yang tidak merokok.
Selain itu dari penelitian lain didapat bahwa episode ISPA meningkat 2 kali
lipat akibat orang tua merokok (Koch et
al, 2003)
e. Polusi udara
Diketahui bahwa penyebab terjadinya ISPA dan penyakit
gangguan pernafasan lain adalah rendahnya kualitas udara didalam rumah ataupun
diluar rumah baik secara biologis, fisik maupun kimia. Berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan oleh pusat penelitian kesehatan Universitas Indonesia
untuk mengetahui efek pencemaran udara terhadap gangguan saluran pernafasan
pada siswa sekolah dasar (SD) dengan membandingkan antara mereka yang tinggal
di wilayah pencemaran udara tinggi dengan siswa yang tinggal di wilayah
pencemaran udara rendah di Jakarta. Dari hasil penelitian tidak ditemukan
adanya perbedaan kejadian baru atau insiden penyakit atau gangguan saluran
pernafasan pada siswa SD di kedua wilayah pencemaran udara. Hal ini menunjukkan
bahwa tingkat pencemaran menjadi tidak berbeda dengan wilayah dengan tingkat
pencemaran tinggi sehingga tidak ada lagi tempat yang aman untuk semua orang
untuk tidak menderita gangguan saluran pemafasan. Hal ini menunjukkan bahwa
polusi udara sangat berpengaruh terhadap terjadinya penyakit ISPA.
Adanya
ventilasi rumah yang kurang sempurna dan asap tungku di dalam rumah seperti
yang terjadi di Negara Zimbabwe akan mempermudah terjadinya ISPA anak (Mishra,
2003).
Patofisiologi
Perjalanan
klinis penyakit ISPA dimulai dengan berinteraksinya virus dengan tubuh.
Masuknya virus sebagai antigen ke saluran pernafasan menyebabkan silia yang
terdapat pada permukaan saluran nafas bergerak ke atas mendorong virus ke arah
faring atau dengan suatu tangkapan refleks spasmus oleh laring. Jika refleks
tersebut gagal maka virus merusak lapisan epitel dan lapisan mukosa saluran
pernafasan (Kending dan Chernick, 1983).
Iritasi
virus pada kedua lapisan tersebut menyebabkan timbulnya batuk kering (Jeliffe,
1974). Kerusakan stuktur lapisan dinding saluran pernafasan menyebabkan
kenaikan aktifitas kelenjar mukus yang banyak terdapat pada dinding saluran
nafas, sehingga terjadi pengeluaran cairan mukosa yang melebihi noramal. Rangsangan
cairan yang berlebihan tersebut menimbulkan gejala batuk (Kending and Chernick,
1983). Sehingga pada tahap awal gejala ISPA yang paling menonjol adalah batuk.
Adanya
infeksi virus merupakan predisposisi terjadinya infeksi sekunder bakteri.
Akibat infeksi virus tersebut terjadi kerusakan mekanisme mukosiliaris yang
merupakan mekanisme perlindungan pada saluran pernafasan terhadap infeksi
bakteri sehingga memudahkan bakteri-bakteri patogen yang terdapat pada saluran
pernafasan atas seperti streptococcus
pneumonia, haemophylus influenza dan staphylococcus menyerang mukosa yang rusak tersebut
(Kending dan Chernick, 1983). Infeksi sekunder bakteri ini menyebabkan sekresi
mukus bertambah banyak dan dapat menyumbat saluran nafas sehingga timbul sesak
nafas dan juga menyebabkan batuk yang produktif. Invasi bakteri ini dipermudah
dengan adanya fakor-faktor seperti kedinginan dan malnutrisi. Suatu laporan
penelitian menyebutkan bahwa dengan adanya suatu serangan infeksi virus pada
saluran nafas dapat menimbulkan gangguan gizi akut pada bayi dan anak (Tyrell,
1980).
Virus yang
menyerang saluran nafas atas dapat menyebar ke tempat-tempat yang lain dalam
tubuh, sehingga dapat menyebabkan kejang, demam, dan juga bisa menyebar ke
saluran nafas bawah (Tyrell, 1980). Dampak infeksi sekunder bakteripun bisa
menyerang saluran nafas bawah, sehingga bakteri-bakteri yang biasanya hanya
ditemukan dalam saluran pernafasan atas, sesudah terjadinya infeksi virus,
dapat menginfeksi paru-paru sehingga menyebabkan pneumonia bakteri (Shann,
1985).
Penanganan
penyakit saluran pernafasan pada anak harus diperhatikan aspek imunologis
saluran nafas terutama dalam hal bahwa sistem imun di saluran nafas yang
sebagian besar terdiri dari mukosa, tidak sama dengan sistem imun sistemik pada
umumnya. Sistem imun saluran nafas yang terdiri dari folikel dan jaringan
limfoid yang tersebar, merupakan ciri khas system imun mukosa. Ciri khas
berikutnya adalah bahwa IgA memegang peranan pada saluran nafas
atas sedangkan IgG pada saluran nafas bawah. Diketahui pula bahwa sekretori IgA (sIgA)
sangat berperan dalam mempertahankan integritas mukosa saluran nafas (Siregar,
1994).
Dari
uraian di atas, perjalanan klinis penyakit ISPA ini dapat dibagi menjadi empat
tahap, yaitu:
1. Tahap prepatogenesis, penyebab telah ada tetapi penderita
belum menunjukkan reaksi apa-apa.
2. Tahap inkubasi, virus merusak lapisan epitel dan lapisan
mukosa. Tubuh menjadi lemah apalagi bila keadaan gizi dan daya tahan sebelumnya
memang sudah rendah.
3. Tahap dini penyakit, dimulai dari munculnya gejala
penyakit. Timbul gejala demam dan batuk.
4. Tahap lanjut penyakit, dibagi menjadi empat, yaitu dapat
sembuh sempurna, sembuh dengan ateletaksis, menjadi kronis dan dapat meninggal
akibat pneumonia.
Klasifikasi ISPA anak
Banyaknya
mikroorganisme yang menyebabkan infeksi saluran pernafasan akut ini cukup
menyulitkan dalam klasifikasi dari segi kausa, hal ini semakin nyata setelah
diketahui bahwa satu organisme dapat menyebabkan beberapa gejala klinis
penyakit serta adanya satu macam penyakit yang bisa disebabkan oleh berbagai
macam mikroorganisme tersebut (Mandal, dkk, 1984).
Oleh
karena itu klasifikasi ISPA hanya didasarkan pada :
1. Lokasi Anatomis
a. Infeksi saluran pernafasan bagian atas.
Merupakan
infeksi akut yang menyerang hidung hingga faring.
b. Infeksi saluran pernafasan bagian bawah.
Merupakan
infeksi akut yang menyerang daerah di bawah faring sampai dengan alveolus
paru-paru.
2. Derajat keparahan penyakit
WHO (1986)
telah merekomendasikan pembagian ISPA menurut derajat keparahannya. Pembagian
ini dibuat berdasarkan gejala-gejala klinis yang timbul, dan telah ditetapkan
dalam lokakarya Nasional II ISPA tahun 1988.
Adapun
pembagiannya sebagai berikut :
a. ISPA ringan
Ditandai
dengan satu atau lebih gejala berikut :
· Batuk
· Pilek dengan atau tanpa demam
b. ISPA sedang
Meliputi
gejala ISPA ringan ditambah satu atau lebih gejala berikut:
· Pernafasan cepat.
Umur <
1 tahun : 50 kali / menit atau lebih.
Umur 1-4
tahun : 40 kali / menit atau lebih.
· Wheezing (nafas menciut-ciut).
· Sakit/keluar cairan dari telinga.
· Bercak kemerahan (campak).
Khusus
untuk bayi <2 bulan hanya dikenal ISPA ringan dan ISPA berat dengan batasan
frekuensinya nafasnya 60 kali / menit.
c. ISPA berat
Meliputi
gejala sedang/ringan ditambah satu atau lebih gejala berikut:
· Penarikan sela iga ke dalam sewaktu
inspirasi.
· Kesadaran menurun.
· Bibir / kulit pucat kebiruan.
· Stridor (nafas ngorok) sewaktu istirahat.
· Adanya selaput membran difteri.
Depkes RI
(1991) membagi ISPA berdasarkan atas umur dan tanda-tanda klinis yang didapat
yaitu :
a. Untuk anak umur 2 bulan - 5 tahun.
Untuk anak
dalam berbagai golongan umur ini ISPA diklasifikasikan menjadi 3 yaitu :
· Pneumonia berat
Tanda
utama :
ü Adanya tanda bahaya, yaitu tak bisa minum,
kejang, kesadaran menurun, stridor,
serta gizi buruk.
ü Adanya tarikan dinding dada ke belakang. Hal
ini terjadi bila paru-paru menjadi kaku dan mengakibatkan perlunya tenaga untuk
menarik nafas.
Tanda-tanda
lain yang mungkin ada :
ü Nafas cuping hidung
ü Suara rintihan
ü Sianosis (pucat)
· Pneumonia (tidak berat)
Tanda :
ü Tak ada tarikan dinding dada ke dalam.
ü Disertai nafas cepat :
Lebih dari
50 kali / menit untuk usia 2 bulan – 1 tahun.
Lebih dari
40 kali / menit untuk usia 1 tahun – 5 tahun.
· Bukan Pneumonia
Tanda :
ü Tak ada tarikan dinding dada ke dalam.
ü Tak ada nafas cepat :
Kurang
dari 50 kali / menit untuk anak usia 2 bulan – 1 tahun.
Kurang
dari 40 kali / menit untuk anak usia 1 tahun – 5 tahun.
b. Anak umur kurang dari 2 bulan
Untuk anak
dalam golongan umur ini, diklasifikasikan menjadi 2 yaitu :
· Pneumonia berat
Tanda :
ü Adanya tanda bahaya yaitu kurang bisa minum,
kejang, kesadaran menurun,stridor, wheezing, demam atau dingin.
ü Nafas cepat dengan frekuensi 60 kali / menit
atau lebih, atau
ü Tarikan dinding dada ke dalam yang kuat.
· Bukan Pneumonia
Tanda :
ü Tidak ada nafas cepat.
ü Tak ada tarikan dinding dada ke dalam.
Dalam International Classification of
Disease dalam bagian Diseases of the Respiratory System revisi yang kesepuluh, ISPA
dibagi berdasar atas letak anatomi saluran pernafasan serta penyebabnya.
Pembagian ini meliputi hal di bawah ini :
a. Infeksi saluran nafas atas akut
· Nasofaringitis akut (commond cold)
· Sinusiatis akut
· Faringitis akut : faringitis streptokokus dan faringitis karena sebab lain
· Tonsilitis akut : tonsilitis streptokokus dan tonsilitis karena sebab lain
· Laringitis dan trakeitis akut
· Epiglotitis dan laringitis obstruktif akut (croup)
b. Influenza dan pneumonia
· Influenza dengan virus yang teridentifikasi
· Influenza dengan virus tak teridentifikasi.
· Pnemonia viral (Pnemonia karena adenovirus, Pnemonia oleh virus sinsitium saluran
pernafasan, Pnemonia oleh virus parainfluenza, Pnemonia oleh virus lain)
· Pneumonia oleh streptokokus pnemonia.
· Pneumonia oleh karena Hemofilus influenza.
· Pneumonia bakterial lainnya.
· Pneumonia oleh sebab organisme lain.
c. Infeksi saluran nafas bawah akut lainnya.
· Bronkitis akut.
· Bronkiolitis akut
· Infeksi saluran nafas bawah akut lain.
No comments:
Post a Comment