Welcome

HWAITING!!!!!!!!!!!!!



Monday 7 February 2011

ISPA ( INFEKSI SALURAN PERNAPASAN ATAS)



Pengertian
Infeksi Saluran Pernafasan Akut merupakan sekelompok penyakit kompleks dan heterogen yang disebabkan oleh berbagai penyebab dan dapat mengenai setiap lokasi di sepanjang saluran nafas (WHO, 1986).
ISPA merupakan salah satu penyebab utama dari tingginya angka kematian dan angka kesakitan pada balita dan bayi di Indonesia. Dalam Pelita IV penyakit tersebut mendapat prioritas tinggi dalam bidang kesehatan (Depkes, 1998).
Secara klinis ISPA adalah suatu tanda dan gejala akut akibat infeksi yang terjadi di setiap bagian saluran pernafasan dan berlangsung tidak lebih dari 14 hari. Adapun yang termasuk ISPA adalah influenza, campak, faringitis, trakeitis, bronkhitis akut, brokhiolitis, dan pneumonia (Yuliastuti, 1992).
Menurut hasil lokakarya ISPA II tahun 1988, ISPA adalah infeksi saluran pernafasan yang berlangsung dalam jangka waktu sampai 14 hari, dimana yang dimaksud dengan saluran pernafasan adalah organ dan hidung sampai alveoli beserta organ-organ adneksanya (misalnya sinus paranasalis, ruang telinga tengah, pleura).
Saluran pernafasan menurut anatominya dapat dibagi menjadi saluran pernafasan atas, yaitu mulai dari hidung sampai laring, dan saluran pernafasan bawah, mulai dari laring sampai alveoli (Nelson, 1983; Said dkk, 1989). Dengan demikian, infeksi saluran pernafasan akut dapat dibagi menjadi ISPA atas dan ISPA bawah. Yang dimaksud ISPA atas ialah infeksi akut yang secara primer mempengaruhi susunan saluran pernafasan di atas laring, sedangkan ISPA bawah ialah infeksi akut yang secara primer mempengaruhi saluran pernafasan bawah laring (Nelson, 1983).
Morbiditas dan mortalitas
Insiden ISPA anak di negara berkembang maupun negara yang telah maju tidak berbeda, tetapi jumlah angka kesakitan di negara berkembang lebih banyak (WHO, 1992). Berbagai laporan mennyatakan bahwa ISPA anak merupakan penyakit yang paling sering pada anak, mencapai kira-kira 50% dari semua penyakit balita dan 30% pada anak usia 5-12 tahun. Umumnya infeksi biasanya mengenai saluran nafas bagian atas, hanya kurang dari 5% yang mengenai saluran pernafasan bawah.
Kejadian ISPA pada balita lebih sering terjadi di daerah perkotaan dibandingkan pada balita di daerah pedesaan. Seorang anak yang tinggal di daerah perkotaan akan mengalami ISPA sebanyak 5-8 episode setahun, sedangkan bila tinggal di pedesaan sebesar 3-5 episode (WHO, 1992).
ISPA merupakan penyakit yang utama dari layanan rawat jalan meliputi 25-40% balita yang berobat, dan ISPA pula yang merupakan penyebab rawat inap balita di rumah sakit sekitar 30-35% dari seluruh balita yang dirawat inap.
Angka kematian yang tinggi karena ISPA khususnya pneumonia masih merupakan masalah di beberapa negara berkembang termasuk Indonesia. WHO (1992) memperkirakan 12,9 juta balita meninggal dunia karena ISPA terutama pneumonia.
Menurut survei kesehatan rumah tangga (1990) ISPA merupakan penyakit yang menyebabkan kematian nomor dua setelah diare, tetapi terjadinya perubahan proporsi kematian pada SKRT 1986 dan 1992, ISPA merupakan penyebab utama kematian pada bayi dan nomor dua pada balita (Darmawan, 1995).
Penyebab
Mayoritas penyebab dari ISPA adalah oleh virus, dengan frekuensi lebih dari 90% untuk ISPA bagian atas, sedangkan untuk ISPA bagian bawah frekuensinya lebih kecil (WHO, 1984). Dalam Harrison’s Principle of Internal Medicine disebutkan bahwa penyakit infeksi saluran nafas akut bagian atas mulai dari hidung, nasofaring, sinus paranasalis sampai dengan laring hampir 90% disebabkan oleh viral (Adams dkk, 1988), sedangkan infeksi akut saluran nafas bagian bawah hampir 50% diakibatkan oleh bakteri di mana Streptococcus Pneumonia adalah yang bertanggung jawab untuk kurang lebih 70-90%, sedangkan Stafilococcus Aureus dan H. Influenza sekitar 10-20% (Robert, 1986). Saat ini telah diketahui bahwa infeksi saluran pernafasan akut ini melibatkan lebih dari 300 tipe antigen dari bakteri maupun virus tersebut (WHO, 1984).
Nelson (1983) juga mengemukakan bahwa kebanyakan penyebab infeksi saluran pernafasan akut disebabkan oleh virus dan mikoplasma, dengan pengecualian epiglotitis akut dan pnemonia dengan distribusi lobular.
Adapun virus-virus (agen non bakterial) yang banyak ditemukan pada ISPA bagian bawah pada bayi dan anak-anak adalah Respiratory syncytial virus (RSV), adenovirus, parainfluenza, danvirus influenza A & B.
Faktor resiko
Beberapa faktor mempengaruhi tingginya mortalitas dan morbiditas ISPA serta berat ringannya penyakit, faktor inilah yang dikenal sebagai faktor risiko. Berbagai penelitian mengenai faktor risiko telah dilakukan baik di negara maju maupun di negara berkembang. Nampaknya faktor risiko di negera industri agak berlainan dari faktor risiko di negara berkembang. Beberapa faktor risiko yang telah diketahui antara lain, malnutrisi, kelahiran dengan berat badan rendah (BBLR), pemberian ASI, kepadatan hunian, sosioekonomi yang rendah, asap rokok, cuaca, pendidikan orang tua, dan lain-lain. Sedangkan beberapa lainnya masih diperdebatkan, seperti peran vitamin A. Secara umum faktor risiko dapat dikelompokkan menjadi faktor diri (host) dan faktor lingkungan (Koch et al, 2003).
Menurut WHO (1992) beberapa faktor yang telah diketahui mempengaruhi pneumonia dan kematian ISPA adalah malnutrisi, pemberian ASI kurang cukup, imunisasi tidak lengkap, defisiensi vitamin A, BBLR, umur muda, kepadatan hunian, udara dingin, jumlah kuman yang banyak di tenggorokan, terpapar polusi udara oleh asap rokok, gas beracun dan lain-lain.
Faktor-faktor resiko yang berperan dalam kejadian ISPA pada anak adalah sebagai berikut:
1. Faktor host (diri)
a. Usia
Kebanyakan infeksi saluran pernafasan yang sering mengenai anak usia dibawah 3 tahun, terutama bayi kurang dari 1 tahun. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa anak pada usia muda akan lebih sering menderita ISPA daripada usia yang lebih lanjut (Koch et al, 2003).
b. Jenis kelamin
Meskipun secara keseluruhan di negara yang sedang berkembang seperti Indonesia masalah ini tidak terlalu diperhatikan, namun banyak penelitian yang menunjukkan adanya perbedaan prevelensi penyakit ISPA terhadap jenis kelamin tertentu.
Angka kesakitan ISPA sering terjadi pada usia kurang dari 2 tahun, dimana angka kesakitan ISPA anak perempuan lebih tinggi daripada laki-laki di negara Denmark (Koch et al, 2003)
c. Status gizi
Interaksi antara infeksi dan Kekurangan Kalori Protein (KKP) telah lama dikenal, kedua keadaan ini sinergistik, saling mempengaruhi, yang satu merupakan predisposisi yang lainnya (Tupasi, 1985). Pada KKP, ketahanan tubuh menurun dan virulensi pathogen lebih kuat sehingga menyebabkan keseimbangan yang terganggu dan akan terjadi infeksi, sedangkan salah satu determinan utama dalam mempertahankan keseimbangan tersebut adalah status gizi anak.
d. Status imunisasi
Tupasi (1985) mendapatkan bahwa ketidakpatuhan imunisasi berhubungan dengan peningkatan penderita ISPA walaupun tidak bermakna. Hal ini sesuai dengan penelitian lain yang mendapatkan bahwa imunisasi yang lengkap dapat memberikan peranan yang cukup berarti dalam mencegah kejadian ISPA (Koch et al, 2003).
e. Pemberian suplemen vitamin A
Pemberian vitamin A pada balita sangat berperan untuk masa pertumbuhannya, daya tahan tubuh dan kesehatan terutama pada penglihatan, reproduksi, sekresi mukus dan untuk mempertahankan sel epitel yang mengalami diferensiasi.
f. Pemberian air susu ibu (ASI)
ASI adalah makanan yang paling baik untuk bayi terutama pada bulan-bulan pertama kehidupannya. ASI bukan hanya merupakan sumber nutrisi bagi bayi tetapi juga sebagai sumber zat antimikroorganisme yang kuat, karena adanya beberapa faktor yang bekerja secara sinergis membentuk sistem biologis.
ASI dapat memberikan imunisasi pasif melalui penyampaian antibodi dan sel-sel imunokompeten ke permukaan saluran pernafasan atas (William and Phelan, 1994).
2. Faktor lingkungan
a. Rumah
Rumah merupakan stuktur fisik, dimana orang menggunakannya untuk tempat berlindung yang dilengkapi dengan fasilitas dan pelayanan yang diperlukan, perlengkapan yang berguna untuk kesehatan jasmani, rohani dan keadaan sosialnya yang baik untuk keluarga dan individu (WHO, 1989).
Anak-anak yang tinggal di apartemen memiliki faktor resiko lebih tinggi menderita ISPA daripada anak-anak yang tinggal di rumah culster di Denmark (Koch et al, 2003).
b. Kepadatan hunian (crowded)
Kepadatan hunian seperti luar ruang per orang, jumlah anggota keluarga, dan masyarakat diduga merupakan faktor risiko untuk ISPA. Penelitian oleh Koch et al (2003) membuktikan bahwa kepadatan hunian (crowded) mempengaruhi secara bermakna prevalensi ISPA berat.
c. Status sosioekonomi
Telah diketahui bahwa kepadatan penduduk dan tingkat sosioekonomi yang rendah mempunyai hubungan yang erat dengan kesehatan masyarakat. Tetapi status keseluruhan tidak ada hubungan antara status ekonomi dengan insiden ISPA, akan tetapi didapatkan korelasi yang bermakna antara kejadian ISPA berat dengan rendahnya status sosioekonomi (Darmawan,1995).
d. Kebiasaan merokok
Pada keluarga yang merokok, secara statistik anaknya mempunyai kemungkinan terkena ISPA 2 kali lipat dibandingkan dengan anak dari keluarga yang tidak merokok. Selain itu dari penelitian lain didapat bahwa episode ISPA meningkat 2 kali lipat akibat orang tua merokok (Koch et al, 2003)
e. Polusi udara
Diketahui bahwa penyebab terjadinya ISPA dan penyakit gangguan pernafasan lain adalah rendahnya kualitas udara didalam rumah ataupun diluar rumah baik secara biologis, fisik maupun kimia. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh pusat penelitian kesehatan Universitas Indonesia untuk mengetahui efek pencemaran udara terhadap gangguan saluran pernafasan pada siswa sekolah dasar (SD) dengan membandingkan antara mereka yang tinggal di wilayah pencemaran udara tinggi dengan siswa yang tinggal di wilayah pencemaran udara rendah di Jakarta. Dari hasil penelitian tidak ditemukan adanya perbedaan kejadian baru atau insiden penyakit atau gangguan saluran pernafasan pada siswa SD di kedua wilayah pencemaran udara. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pencemaran menjadi tidak berbeda dengan wilayah dengan tingkat pencemaran tinggi sehingga tidak ada lagi tempat yang aman untuk semua orang untuk tidak menderita gangguan saluran pemafasan. Hal ini menunjukkan bahwa polusi udara sangat berpengaruh terhadap terjadinya penyakit ISPA.
Adanya ventilasi rumah yang kurang sempurna dan asap tungku di dalam rumah seperti yang terjadi di Negara Zimbabwe akan mempermudah terjadinya ISPA anak (Mishra, 2003).
Patofisiologi
Perjalanan klinis penyakit ISPA dimulai dengan berinteraksinya virus dengan tubuh. Masuknya virus sebagai antigen ke saluran pernafasan menyebabkan silia yang terdapat pada permukaan saluran nafas bergerak ke atas mendorong virus ke arah faring atau dengan suatu tangkapan refleks spasmus oleh laring. Jika refleks tersebut gagal maka virus merusak lapisan epitel dan lapisan mukosa saluran pernafasan (Kending dan Chernick, 1983).
Iritasi virus pada kedua lapisan tersebut menyebabkan timbulnya batuk kering (Jeliffe, 1974). Kerusakan stuktur lapisan dinding saluran pernafasan menyebabkan kenaikan aktifitas kelenjar mukus yang banyak terdapat pada dinding saluran nafas, sehingga terjadi pengeluaran cairan mukosa yang melebihi noramal. Rangsangan cairan yang berlebihan tersebut menimbulkan gejala batuk (Kending and Chernick, 1983). Sehingga pada tahap awal gejala ISPA yang paling menonjol adalah batuk.
Adanya infeksi virus merupakan predisposisi terjadinya infeksi sekunder bakteri. Akibat infeksi virus tersebut terjadi kerusakan mekanisme mukosiliaris yang merupakan mekanisme perlindungan pada saluran pernafasan terhadap infeksi bakteri sehingga memudahkan bakteri-bakteri patogen yang terdapat pada saluran pernafasan atas seperti streptococcus pneumonia, haemophylus influenza dan staphylococcus menyerang mukosa yang rusak tersebut (Kending dan Chernick, 1983). Infeksi sekunder bakteri ini menyebabkan sekresi mukus bertambah banyak dan dapat menyumbat saluran nafas sehingga timbul sesak nafas dan juga menyebabkan batuk yang produktif. Invasi bakteri ini dipermudah dengan adanya fakor-faktor seperti kedinginan dan malnutrisi. Suatu laporan penelitian menyebutkan bahwa dengan adanya suatu serangan infeksi virus pada saluran nafas dapat menimbulkan gangguan gizi akut pada bayi dan anak (Tyrell, 1980).
Virus yang menyerang saluran nafas atas dapat menyebar ke tempat-tempat yang lain dalam tubuh, sehingga dapat menyebabkan kejang, demam, dan juga bisa menyebar ke saluran nafas bawah (Tyrell, 1980). Dampak infeksi sekunder bakteripun bisa menyerang saluran nafas bawah, sehingga bakteri-bakteri yang biasanya hanya ditemukan dalam saluran pernafasan atas, sesudah terjadinya infeksi virus, dapat menginfeksi paru-paru sehingga menyebabkan pneumonia bakteri (Shann, 1985).
Penanganan penyakit saluran pernafasan pada anak harus diperhatikan aspek imunologis saluran nafas terutama dalam hal bahwa sistem imun di saluran nafas yang sebagian besar terdiri dari mukosa, tidak sama dengan sistem imun sistemik pada umumnya. Sistem imun saluran nafas yang terdiri dari folikel dan jaringan limfoid yang tersebar, merupakan ciri khas system imun mukosa. Ciri khas berikutnya adalah bahwa IgA memegang peranan pada saluran nafas atas sedangkan IgG pada saluran nafas bawah. Diketahui pula bahwa sekretori IgA (sIgA) sangat berperan dalam mempertahankan integritas mukosa saluran nafas (Siregar, 1994).
Dari uraian di atas, perjalanan klinis penyakit ISPA ini dapat dibagi menjadi empat tahap, yaitu:
1. Tahap prepatogenesis, penyebab telah ada tetapi penderita belum menunjukkan reaksi apa-apa.
2. Tahap inkubasi, virus merusak lapisan epitel dan lapisan mukosa. Tubuh menjadi lemah apalagi bila keadaan gizi dan daya tahan sebelumnya memang sudah rendah.
3. Tahap dini penyakit, dimulai dari munculnya gejala penyakit. Timbul gejala demam dan batuk.
4. Tahap lanjut penyakit, dibagi menjadi empat, yaitu dapat sembuh sempurna, sembuh dengan ateletaksis, menjadi kronis dan dapat meninggal akibat pneumonia.
Klasifikasi ISPA anak
Banyaknya mikroorganisme yang menyebabkan infeksi saluran pernafasan akut ini cukup menyulitkan dalam klasifikasi dari segi kausa, hal ini semakin nyata setelah diketahui bahwa satu organisme dapat menyebabkan beberapa gejala klinis penyakit serta adanya satu macam penyakit yang bisa disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme tersebut (Mandal, dkk, 1984).
Oleh karena itu klasifikasi ISPA hanya didasarkan pada :
1. Lokasi Anatomis
a. Infeksi saluran pernafasan bagian atas.
Merupakan infeksi akut yang menyerang hidung hingga faring.
b. Infeksi saluran pernafasan bagian bawah.
Merupakan infeksi akut yang menyerang daerah di bawah faring sampai dengan alveolus paru-paru.
2. Derajat keparahan penyakit
WHO (1986) telah merekomendasikan pembagian ISPA menurut derajat keparahannya. Pembagian ini dibuat berdasarkan gejala-gejala klinis yang timbul, dan telah ditetapkan dalam lokakarya Nasional II ISPA tahun 1988.
Adapun pembagiannya sebagai berikut :
a. ISPA ringan
Ditandai dengan satu atau lebih gejala berikut :
· Batuk
· Pilek dengan atau tanpa demam
b. ISPA sedang
Meliputi gejala ISPA ringan ditambah satu atau lebih gejala berikut:
· Pernafasan cepat.
Umur < 1 tahun : 50 kali / menit atau lebih.
Umur 1-4 tahun : 40 kali / menit atau lebih.
· Wheezing (nafas menciut-ciut).
· Sakit/keluar cairan dari telinga.
· Bercak kemerahan (campak).
Khusus untuk bayi <2 bulan hanya dikenal ISPA ringan dan ISPA berat dengan batasan frekuensinya nafasnya 60 kali / menit.
c. ISPA berat
Meliputi gejala sedang/ringan ditambah satu atau lebih gejala berikut:
· Penarikan sela iga ke dalam sewaktu inspirasi.
· Kesadaran menurun.
· Bibir / kulit pucat kebiruan.
· Stridor (nafas ngorok) sewaktu istirahat.
· Adanya selaput membran difteri.
Depkes RI (1991) membagi ISPA berdasarkan atas umur dan tanda-tanda klinis yang didapat yaitu :
a. Untuk anak umur 2 bulan - 5 tahun.
Untuk anak dalam berbagai golongan umur ini ISPA diklasifikasikan menjadi 3 yaitu :
· Pneumonia berat
Tanda utama :
ü Adanya tanda bahaya, yaitu tak bisa minum, kejang, kesadaran menurun, stridor, serta gizi buruk.
ü Adanya tarikan dinding dada ke belakang. Hal ini terjadi bila paru-paru menjadi kaku dan mengakibatkan perlunya tenaga untuk menarik nafas.
Tanda-tanda lain yang mungkin ada :
ü Nafas cuping hidung
ü Suara rintihan
ü Sianosis (pucat)
· Pneumonia (tidak berat)
Tanda :
ü Tak ada tarikan dinding dada ke dalam.
ü Disertai nafas cepat :
Lebih dari 50 kali / menit untuk usia 2 bulan – 1 tahun.
Lebih dari 40 kali / menit untuk usia 1 tahun – 5 tahun.
· Bukan Pneumonia
Tanda :
ü Tak ada tarikan dinding dada ke dalam.
ü Tak ada nafas cepat :
Kurang dari 50 kali / menit untuk anak usia 2 bulan – 1 tahun.
Kurang dari 40 kali / menit untuk anak usia 1 tahun – 5 tahun.
b. Anak umur kurang dari 2 bulan
Untuk anak dalam golongan umur ini, diklasifikasikan menjadi 2 yaitu :
· Pneumonia berat
Tanda :
ü Adanya tanda bahaya yaitu kurang bisa minum, kejang, kesadaran menurun,stridor, wheezing, demam atau dingin.
ü Nafas cepat dengan frekuensi 60 kali / menit atau lebih, atau
ü Tarikan dinding dada ke dalam yang kuat.
· Bukan Pneumonia
Tanda :
ü Tidak ada nafas cepat.
ü Tak ada tarikan dinding dada ke dalam.
Dalam International Classification of Disease dalam bagian Diseases of the Respiratory System revisi yang kesepuluh, ISPA dibagi berdasar atas letak anatomi saluran pernafasan serta penyebabnya. Pembagian ini meliputi hal di bawah ini :
a. Infeksi saluran nafas atas akut
· Nasofaringitis akut (commond cold)
· Sinusiatis akut
· Faringitis akut : faringitis streptokokus dan faringitis karena sebab lain
· Tonsilitis akut : tonsilitis streptokokus dan tonsilitis karena sebab lain
· Laringitis dan trakeitis akut
· Epiglotitis dan laringitis obstruktif akut (croup)
b. Influenza dan pneumonia
· Influenza dengan virus yang teridentifikasi
· Influenza dengan virus tak teridentifikasi.
· Pnemonia viral (Pnemonia karena adenovirus, Pnemonia oleh virus sinsitium saluran pernafasan, Pnemonia oleh virus parainfluenza, Pnemonia oleh virus lain)
· Pneumonia oleh streptokokus pnemonia.
· Pneumonia oleh karena Hemofilus influenza.
· Pneumonia bakterial lainnya.
· Pneumonia oleh sebab organisme lain.
c. Infeksi saluran nafas bawah akut lainnya.
· Bronkitis akut.
· Bronkiolitis akut
· Infeksi saluran nafas bawah akut lain.

No comments:

Post a Comment